Sumber Daya Perikanan, Kekayaan Kita yang (masih) Merana

September 29, 2006 at 9:16 pm 10 komentar

Sumber Daya Perikanan, Kekayaan
Kita yang (masih) Merana

Dunia telah mengakui, bahwa indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dimana terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Indonesia memiliki luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia. Dengan potensi fisik ini, tentunya kita harus berbangga atas potensi ini, serta mampu mengelolanya dengan baik. Sayangnya, dengan potensi yang cukup besar ini, kita (bangsa indonesia) belum mampu menunjukan kerdiriannya sebagai bangsa bahari. Indikasinya sangat jelas, sampai hari ini masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Harusnya dengan potensi kekayaan bahari tersebut, sudah mampu membuat bangsa ini sejahtera. Ini merupakan bukti kegagalan pemerintah kita dalam penegelolaan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus mengindikasikan perhatian pemerintah terhadap sektor ini masih dipandang sebelah mata.

Apa pasal yang membuat bangsa ini belum mapan dalam sektor bahari? Indikasi kecilnya adalah belum adanya kesadaran kolektif bangsa ini akan arti pentingnya sektor kelautan kita. Dari segi pengambil kebijakan misalnya, departemen yang secara khusus menangani masalah kebaharian yakni kementerian Kelautan dan Perikanan kita baru ada pasca tumbangnya orde baru. Itu baru pada persoalan penentu kebijakan. Tentunya potensi fisik tersebut bukanlah hanya menjadi kebanggaan saja. Akan tetapi potensi itu harus dikelola untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat. Sayangnya, sampai sekarang potensi sumberdaya perikanan kita masih belum dikelola secara efektif. Layaknya raksasa yang masih tidur, demikianlah potensi sumber daya perikanan kita. Dalam terminologi saya, potensi tersebut hanya akan menjadi (potensi) kekayaan yang merana jika tidak dikelola dengan baik.

Kekayaan yang merana

Laut kita memiliki karakteristik yang sangat spesifik Dikatakan spesifik, karena memiliki keaneragaman biota laut (ikan dan vegetasi laut) dan potensi lainnya seperti kandungan bahan mineral. Dalam definisi undang-undang no 31 tahun 2004 tentang perikanan, dikatakan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebahagian hidupnya berada dalam lingkungan perairan. Sumber daya perikanan, merupakan hasil kekayaan laut yang memiliki potensi besar untuk menambah devisa negara. Menurut Rohmin Dahuri, bahwa potensi pembangunan pesisir dan lautan kita terbagi dalam tiga kelompok yaitu: (1) sumber daya dapat pulih (renewable recorces), (2) sumber daya tak dapat pulih (non-renewable recorces) dalam hal ini mineral dan bahan tambang, (3) jasa-jasa lingkungan (Environmental service). Sayangnya ketiga potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, akan menarik kiranya bila kita membeberkan ketiga kelompok potensi kelautan kita.

Sumberdaya dapat pulih terdiri dari ikan dan vegetasi lainnya. Namun yang menjadi primadona kita selama ini adalah pada sebatas ikan konsumsi seperti ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang dan cumi-cumi. Sedangkan untuk vegetasinya adalah terumbu karang, padang lamun, rumput laut, dan hutan mangrove. Sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang dapat pulih sering kita salah tafsirkan sebagai sumber daya yang dapat eksploitasi secara terus menerus tanpa batas. Dalam data Ditjen Perikanan, (1995), Potensi sumber daya perikanan laut di indonesia terdiri dari sumber daya perikanan pelagis besar dengan potensi produksi sebesar 451.830 ton/tahun dan pelagis kecil sebesar 2.423.000 ton/tahun sedangkan sumberdaya perikanan demersal memiliki potensi produksi sebesar 3.163.630 ton/tahun, udang sebesar 100.728 ton/tahun, ikan karangdengan potensi produksi sebesar 80.082 ton/tahun dan cumi-cumi sebesar 328.968 ton/tahun. Dengan demikian potensi lestari sumber daya perikanan laut dengan tingkat pemanfaatan baru sekitar 48%.

Sementara itu, potensi vegetasi biota laut juga sangat besar. Salah satunya adalah terumbu karang. Dimana terumbu karang ini memilki fungsi yang sangat startegis bagi kelangsungan hidup ekosistem laut yakni fungsi ekologis yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan berbagai biota. Terumbu karang juga menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan kerang mutiara Data Ditjen Perikanan tahun 1991 menunjukan, potensi lestari sumber daya ikan pada terumbu karang di perairan indonesia diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, dengan luas total terumbu karang 50.000 km2. Vegetasi lainnya adalah rumput laut. Rumput laut memiliki potensi lahan untuk budidaya sekitar 26.700 ha dengan kemampuan potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun (Ditjen Perikanan, 1991).

Disamping potensi sumber daya dapat pulih (renewable recources), wilayah pesisir dan laut kita juga memiliki potensi sumber daya tak terbaharukan (non-renewable recources). Potensi ini meliputi mineral dan bahan tambang diantaranya berupa minyak, gas, batu bara, emas, timah, nikel, bauksit dan juga granit, kapur dan pasir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah kawasan pesisir dan laut kita sangat potensial untuk pengelolaan jasa lingkungan (environmental service).yang dimaksud dengan jasa lingkungan adalah pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan sebagai sarana rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, kawasan perlindungan dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.

Potensi lain yang juga belum tergarap adalah pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai penghasil daya energi, belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat ramah lingkungan. Sumber energi yang dapat dimanfaatkan antara lain berupa; arus pasang surut,, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan atau yang kita kenal dengan OTEC (Ocean Thermal Energy Convertion).

Gambaran potensi wilayah laut dan pesisir kita tersebut hanyalah sebahagian kecil yang dimanfaat secara optimal. Tentunya masih banyak potensi lain yang dapat dikembangkan guna kemakmuran rakyat. Namun sangat disayangkan potensi sumber daya pesisir dan lautan belum bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan. Hal yang terjadi justru sebaliknya, ditengah kebanggaan kita sebagai bangsa bahari, justru nelayan kitalah yang paling termarjinalkan. Suatu fenomena yang kontras. Rohmin Dahuri pernah mengatakan, seandainya saja potensi wilayah pesisir dan laut dikelola secara baik maka hasilnya akan mampu membayar utang luar negeri kita yang sampai hari ini belum bisa terbayarkan. Namun apa boleh buat, model pengelolaan wilayah pesisir dan laut selama ini sangat berorientasi pada aspek eksploitasi. Hal ini terlihat jelas selama pemerintahan orde baru. Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut hanya sebatas untuk pemenuhan pundi uang bagi negara. Sementara pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi penyedia primer bahan pangan. Tidak berlebihan kiranya, mengingat jumlah penduduk yang meningkat tiap tahunnya serta semakin kurangnya lahan pertanian akibat adanya aktivitas pembangunan perumahan dan jalan. Dengan demikian mau tidak mau, suka tidak suka potensi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan akan menjadi kiblat ekonomi indonesia masa depan. Jika potensi kekayaan ini dibiarkan merana tidak dikelola dengan baik, maka indonesia sebagai negara bahari bisa jadi hanya tinggal nama.

Fenomena ilegal fishing dan ironi negara bahari

Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara ilegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.

Maraknya pencurian ikan secara ilegal (ilegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9) menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain).

Nelayan kita yang merana

Seperti kita ketahui, nasib buruh, petani dan nelayan kita sudah dapat dipastikan, mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Kelompok yang paling menikmati adalah mereka yang memiliki modal besar (pengusaha) dan dekat dengan kekuasaan. Kemiskinan nelayan sepertinya menjadi benang kusut yang sulit diurai. Kebijakan pemerintah yang pro nelayan mutlak dilakukan untuk mendorong tingkat kesejahteraan nelayan kita. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : (1) rendahnya tingkat teknologi penangkapan ; (2) kecilnya skala usaha ; (3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4) status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Oleh karenanya pembangunan infrastruktur nelayan bantuan alat penagkapan ikan serta membantu dalam pemasaran hasil tangkap adalah mutlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan. Selain itu, harus ada payung hukum yang melindungi aktivitas penangkapan nelayan lokal serta pengaturan atau pembatasan penangkapan bagi kapal asing dan kapal-kapal besar serta harus ada undang-undang yang mengatur batas wilayah kita dengan batas wilayah teritotial negara lain. Hal ini perlu, guna menghindarkan konflik nelayan lokal dan nelayan asing. Kebijakan perikanan yang pro nelayan adalah suatu keharusan, jika tidak maka nelayan kita akan merana akibat ketidak becusan pemerintah dalam mengelola wilayah pesisir dan laut kita. Semoga saja!.


Entry filed under: Perikanan dan Kelautan.

Syndroma of Literer (Fenomenologi komunitas “antik” : WD17) Popor Senjata Tentara

10 Komentar Add your own

  • 1. wafa  |  September 30, 2006 pukul 7:05 am

    betul sepakat dengan apa yang ditulis.kebetulan saya berasal dari kota yang memounyai julukan sebagai kota bahari.sayangnya perhatian pemkot terhadap SDA yang satu ini sangat kurang.kehidupan para penggiatnyapun juga sangat memprihatikan.ironis sekali jika saya mengingat lagu yang diajarkan ketika saya masih Tk. “nenek moyangku seorang pelaut”……

  • 2. wafa  |  September 30, 2006 pukul 7:06 am

    betul sepakat dengan apa yang ditulis.kebetulan saya berasal dari kota yang memounyai julukan sebagai kota bahari.sayangnya perhatian pemkot terhadap SDA yang satu ini sangat kurang.kehidupan para penggiatnyapun juga sangat memprihatikan.ironis sekali jika saya mengingat lagu yang diajarkan ketika saya masih Tk. “nenek moyangku seorang pelaut”……

  • 3. Aryanto Abidin  |  September 30, 2006 pukul 9:33 pm

    Buat Wafa: Pertama-tama salam ukhuwah untuk anda, terima kasih anda telah mengunjungi dan membaca tulisan di blog saya. Sebenarnya kalo mao jujur,potensi atau hasil sumber daya pesisir dan lautan kita sangat mampu/berpotensi untuk membayar utang kita (Indonesia) dari bangsa2 barat yang sudah lebih dari 100 Triliun. Mungkin dalam waktu 5-10 tahun utang2 kita akan lunas. Namun kenyataan berbicara lain, sekarang, setiap orang yang lahir di (warga negara)indonesia menanggung utang sebesar kurang lebih 7 juta Rupiah. Dalam Islam, orang yang meninggal harus dibayar/dilunasi seluruh utangnya. Lalu bagaimana dengan kita,yang kelak mati sebagai warga negara indonesia? Siapa yang akan membayarkan utang2 kita?.

    Nenek moyangku seorang pelaut…
    Tentu kita masih ingat dengan lagu itu. lagu itu tertananm kuat dalam ingatan kita ketika pertama kali bangsu pendidikan (TK), dan hingga sekarang masih tertanam dengan ingatan yang kuat. Sayangnya, syair tersebut hanyalah kebanggan semu untuk membunuh/meninabobokan rakyat kita yang memang ditindas selama 32 tahun (orde baru). Ingatan dan kesadaran kita didominasi oleh kepentingan penguasa (rezim Soeharto). Oleh karena itu, saya mengusulkan sebaiknya syair lagu itu diganti dengan, nenek moyangku bukan seorang pelaut

  • 4. Taupik Hidayat Nasution  |  Desember 1, 2008 pukul 7:49 am

    kasihan para nelayan ! hidup mereka sekarang semakin sulit! di tempat saya banyak nelayan yang mengeluh tentang Upah mereka yang tak setimpal dengan resiko yang mereka terima. lain lagi pemerintah yang tak berpihak pada mereka. terbukti masih minimnya upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Di Tanjungbalai sampai saat ini hampir 80% PABRIK INDUSTRI yang berada di PESISIR PANTAI masih membuang limbah cair ke sugai ASAHAN. dan menurut informasi dan investigasi salah satu PABRIK TERSEBUT LANGSUNG MEMBUANG LIMBAH CAIR BERUPA AIR KAPORIT DAN AIR PANAS LANGSUNG DIBUANG TANPA ADA FILTERISASI UNTUK MENGOLAH LIMBAH TERSEBUT. INI NYATA MENCEMARI PERAIAN BERDASARKAN FAKTOR FISIKA yang dimana limbah tersebut telah mempengaruhi suhu, warna. dan rasa. yang dimana kasus ini tentu berdampak ke perairan laut. ujung-ujungnya nelayan juga yang dirugikan.
    disini saya meminta kejelasan pada AMDAL dan PERATURAN PERMERINTAH TENTANG INDIKASI-INDIKASI YANG SAYA SEBUTKAN DI ATAS. TRIMS

  • 5. nurman  |  Oktober 6, 2009 pukul 1:19 pm

    iya, betul tu….ksihan nelayan sekarang, banyak nelayan yang kurang makmur karna hasil jerih paya mereka dilaut tidak seperti yang mereka harapkan. padahal dalam kenyataanya laut indonesia merupakan negara yang mempunyai wilayah laut yang begitu luas. dan seharusnya pemerintah jangan banyak tidur, buka mata lebar-lebar, lihat sekeliling bahwa masih begitu banyak ilegal fishing,. so mereka harus lebih bekerja keras, dan tentunya dengan masyarakat juga.

  • 6. IINDRA BAYU PRATAMA  |  Oktober 9, 2009 pukul 1:51 pm

    Bener…
    Indonesia yang lautnya kaya Tapi para nelayan masih banyak yang miskin…..ckckck

  • 8. h0404055  |  April 4, 2010 pukul 10:07 pm

    makasih informasinya
    silahkan kunjungi BLOG kami http://h0404055.wordpress.com
    terdapat artikel lain yang bermanfaat, dan kalau berkenan tolong dikasi komentar. Terima kasih.

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Blog Stats

  • 24.724 hits

Arsip

September 2006
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930